Tebing Bandiagara, atau sebagian menyebutnya dengan Lereng Bandiaga, menyimpan pesona yang menakjubkan. Terletak di selatan Sungai Nigeria, catatan-catatan tentang desa ini seolah mewakili keterpukauan pada sebuah masyarakat terpencil wilayah plato yang terkenal dengan mitologinya.
Masyarakat yang tinggal di Tebing Bandiagara membangun rumah-rumah mereka dengan dinding-dinding yang terbuat dari tanah liat. Begitu juga dengan lumbung, altar, tempat suci, dan tempat pertemuan komunal. Di tempat ini juga kita akan menjumpai sebuah masjid yang berdiri kokoh dan anggun yang dibangun dengan gaya arsitektur menyerupai benteng pada tahun 1907, yaitu Masjid Agung Djenne.
Masyarakat di Tebing Bandiagara adalah orang-orang dari Suku Dogon, Afrika. Dengan populasi lebih dari 800 ribu jiwa, Suku Dogon menjadi obyek studi antropologi. Selain keahlian mereka dalam membangun tebing, Suku Dogon juga terkenal akan kemampuannya mengenai kosmologi. Suku ini membangun gua-gua dari batuan lumpur dan pasir. Tahun 1490 orang-orang Dogon melarikan diri ke wilayah ini. Mereka lari dari serangan Suku Mossi dan bersembunyi dengan membangun rumah-rumah dari lumpur kecokletan agar nampak samar di tebing curam Bandiagara.
Penyamaran itu akhirnya
menjadikan masyarakat Suku Dogon mengisolasi diri dan menolak pengaruh
dari luar. Sekitar tahun 1930-an mereka mulai mau membuka diri. Beberapa
sumber menyebutkan bahwa suku ini di jaman dahulu kala adalah
masyarakat yang keras dan kejam. Namun, beberapa sumber lainnya
menyebutkan mereka adalah suku dengan tradisi yang unik dan hidup damai.
Masyarakat Dogon memiliki dua lumbung, lumbung laki-laki dan lumbung perempuan. Lumbung atap ditunjukkan sebagai lumbung laki-laki. Di sinilah gandum dan makanan lainnya disimpan. Atap yang tinggi dan besar mencerminkan kemakmuran. Lumbung perempuan di mana perempuan dapat menyimpan barang-barang mereka sendiri. Perempuan Dogon bisa mandiri secara ekonomi tanpa bergantung kepada suaminya.
Hidup bermasyarakat bagi Suku Dogon adalah hidup berdampingan yang saling menjaga. Ada sebuah bangunan yang disebut Toguna, tempat di mana laki-laki Dogon bermusyawarah. Toguna memiliki atap yang rendah agar laki-laki di dalamnya tidak bisa berdiri tegak. Dirancang demikian agar ketika terjadi perdebatan yang panas, maka orang orang tidak bisa berdiri untuk melukai orang lain. Toguna sengaja membatasi gerak agar orang tidak bisa semena-mena.
Masyarakat Suku Dogon memiliki seorang pemimpin spiritual yang disebut Hogon, yang dipilih berdasarkan kandidat yang terdiri dari para tetua di Dogon. Penduduk desa tidak boleh menyentuh Hogon yang telah terpilih. Selama masa inisiasi Hogon harus hidup sendirin dan dilarang mencuci atau bercukur. Ia hanya dilayani oleh seorang gadis belia yang menyediakan makan dan membersihkan rumah. Perempuan itu juga tidak boleh menyentuh Hogon, dan setiap malam dia akan pulang ke rumah orangtuanya. Setelah melewati masa inisiasi. Hogon dipakaikan topi merah dan memakai sebuah gelang dengan hiasan mutiara. Namun, istrinya belum boleh tidur bersamanya di malam pertama ia kembali, karena masyarakat Dogon percaya bahwa saat Hogon tidur dia dikunjungi oleh ular suci yang memberinya hikmat dan mensucikannya saat dia tidur.* (BabbeMoel)
(Berbagai sumber)
Komentar